Asal mula Gunung
Kidul terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang
menjadi raja adalah Sultan Hamengku Buwono I. Pada waktu
pemerintahannya, daerah sepanjang pesisir Laut Selatan masuk ke dalam
wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu namanya bukan
Gunung Kidul, tetapi Sumengkar. Karena wilayahnya sangat luas, daerah
Sumengkar dipimpin oleh seorang adipati. Oleh karena itu, disebut daerah
Sumengkar. Lalu mengapa Kadipaten Sumengkar kemudian berganti nama
menjadi Kadipaten Gunung Kidul? Ceritanya sebagai berikut:
Pada
suatu hari, di Kadipaten Sumengkar sedang diadakan sebuah pertemuan
yang sangat penting. Pertemuan itu dipimpin oleh Adipati Sumengkar
sendiri, yaitu Adipati Wironegoro. Saat itu, Sang Adipati dihadapkan
oleh orang-orang kepercayaannya, seperti Patih Panitipraja, Rangga
Puspowilogo, Panji Semanu Harjodipuro, dan para punggawa Kadipaten
Sumengkar lainnya. Namun, sampai sekian lama para punggawa itu menunggu,
Adipati Wironegoro belum juga memulai pertemuan.
“Gusti
Adipati, kami semua menunggu perintah. Masih adakah hal yang mengganggu
sehingga pertemuan ini tidak segera dimulai?” tanya Patih Panitipraja
memberanikan diri.
“Benar, Patih. Aku masih menunggu Demang Piyaman Wonopawiro. Tidak biasanya dia datang terlambat,” jawab Adipati Wironegoro.
“Ah,
apakah perlunya kita menunggu dia. Tanpa dia pun Kadipaten Sumengkar
tetap akan berjalan, Gusti,” sambung Rangga Puspowilogo tidak senang.
“Aku mengerti maksudmu, Puspowilogo. Tetapi pertemuan ini penting sekali. Aku ingin semua punggawa Kadipaten mendengar sendiri titah Kanjeng Sultan Yogykarta Hadininingrat,” ujar Adipati bijaksana.
Rangga Puspowilogo yang mendengar jawaban junjungannya itu tampak tidak senang. Namun, tidak berani membantah lagi.
“Baiklah,
kita tunggu sebentar lagi saja Demang Piyaman. Kalau tidak datang, kita
tinggalkan saja dia,” lanjut Adipati mengambil jalan tengah.
Akhirnya, setelah ditunggu beberapa saat Demang Piyaman tidak kunjung datang, pertemuan di Kadipaten Sumengkar itu pun dimulai.
Adipati Wironegoro segera menyampaikan titah Sultan Hamengku Buwono kepada segenap punggawa yang hadir. Isi pokok dari titah Sultan Yogyakarta itu adalah agar ibu kota Kadipaten Sumengkar dipindahkan ke hutan doyong.
Alasan perpindahan ibu kota itu atas dasar petunjuk yang diterima
Kanjeng Sultan ketika sedang meditasi di masjid. Jika sampai ibu kota
Kadipaten Sumengkar tidak dipindahkan, maka akan menyebabkan bencana.
Bukan hanya Kadipaten Sumengkar sendiri yang mengalami bencana,
melainkan Kesultanan Yogyakarta keseluruhan.
Mengingat
ancaman malapetaka yang bakal menimpa itulah, Kanjeng Sultan Yogyakarta
memerintahkan Adipati Wironegoro untuk secepat mungkin melaksanakan
peritahnya.
“Nah,
perintah Kanjeng Sultan cukup jelas. Sekarang siapa di antara kalian
yang akan berangkat melaksanakan tugas negara ini, membabat alas doyong?” tanya Adipati Wironegoro.
Segenap
yang hadir hanya bisa terdiam mendengar perintah itu. Mereka semua
perlu bertanya lagi, apa artinya membabat hutan nangka doyong. Jangankan membabat, baru mengusik saja resikonya adalah mati.
“Bagaimana
dengan dirimu, Rangga Puspowilogo. Kamu adalah benteng dan panglima
perang Kadipaten Sumengkar?” tanya Adipati Wironegoro sambil menatap
tajam Rangga Puspowilogo.
Wajah Rangga Puspowilogo pucat, lalu katanya,” Ampun beribu ampun, Gusti Adipati. Bukan niat hamba untuk menolak titah Gusti Adipati, tapi hamba benar-benar tidak mau mati sia-sia di tangan para jin penunggu hutan nangka doyong.”
Mendengar jawaban punggawanya itu, Adipati Wironegoro tampak tidak senang dan menahan marah.
“Meski
begitu, hamba ada usul, Gusti. Biarlah Demang Piyaman Wonopawiro yang
menjalankan tugas itu. Semua ini adalah bentuk hukuman pada dia, Gusti
…!”
“Tutup
mulutmu Puspowilogo. Engkau sendiri tidak sanggup mengemban tugas.
Jangan melemparkan tanggung jawabmu pada orang lain,” sahut Adipati
bertambah murka.
Segenap
yang hadir jadi terdiam. Mereka menyalahkan Rangga Puspowilogo yang
berkata sembarangan. Sementara Adipati Wironegoro bertambah murka, di
samping karena sikap Puspowilogo juga karena mengingat betapa besar dosa
Kanjeng Sultan jika sampai gagal menjalankan tugas. Tidak mengherankan
jika suasana pertemuan itu tampak menjadi hening. Semua tenggelam dalam
pikirannya masing-masing.
“Baik.
Kalau tidak ada punggawa Kadipaten Sumengkar yang pemberani, aku
sendiri yang akan menunaikan tugas!” kata Adipati Wironegoro geram.
“Jangan
….. Jangan, Gusti. Biarlah hamba yang akan menjalankan tugas negara
ini! Kata seseorang yang baru masuk dan menyembah dengan hormat. Dia
adalah Demang Piyaman Wonopawiro.
“Demang …! Benarkah engkau sanggup membabat hutan nangka doyong itu …,” seru sang Adipati dan seakan tidak percaya.
“Benar, Gusti Adipati. Biarlah hamba yang akan menjalankan tugas negara itu …”
“Kamu tidak takut mati?”
“Untuk negara, hamba rela mengorbankan jiwa dan raga, Gusti,” jawab Demang Wonopawiro.
Adipati
Wironegoro sangat berkenan dengan jawaban Demang yang masih muda namun
pemberani itu. Sang Adipati pun berjanji, jika Demang Piyaman itu
berhasil menjalankan tugas negara, maka anugerah yang besar akan
diberikan kepadanya.
“Ampun,
Gusti Adipati. Bukan hadiah yang hamba harapkan, namun hamba memang
ingin menjalankan tugas negara”, lanjut Demang yang rendah hati itu.
“Baik.
Apapun alasanmu, aku sangat menghargainya. Nah, sekarang persiapkan
segala sesuatunya dan berangkatlah. Doaku menyertaimu,” kata Adipati
lagi.
Akhirnya, Demang Wonopawiro berangkat menjalankan tugas. Sebelum memasuki kawasan hutan nangka doyong yang angker, Demang Wonopawiro mengkhususkan diri untuk singgah di kediaman Ki Nitisari, saudaranya, yang tahu banyak tentang hutan nangka doyong.
“Dimas, bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk membabat hutan nangka doyong. Salah sedikit nyawa sebagai taruhannya,” kata Ki Nitisari mengingatkan saudaranya.
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Kang Mas?”
“Nanti tepat tengah malam, aku akan menyertai dimas untuk bertemu dengan penguasa hutan nangka doyong,” jawab Ki Nitisari.
Tepat tengah malam, dua bersaudara itu nekat menerobos tengah malam dan angkernya hutan nangka doyong.
Keduanya terus melangkah tak memedulikan banyaknya godaan dan serangan
para jin di sepanjang jalan. Akhirnya, setelah sampai di tengah
belantara keduanya segera bertapa di bawah pohon nangka tua yang sudah
hampir roboh (doyong).
Empat
puluh hari empat puluh malam keduanya bertapa, memohon petunjuk dan
pertolongan kepada Yang Mahakuasa. Selama itu pula, keduanya tabah
menghadapi serangkaian teror dari para jin penghuni rimba. Namun,
akhirnya para jin penghuni rimba itu harus lari terbirit-birit tak kuasa
menghadapi kesaktian kedua punggawa Kadipaten Sumengkar. Kemudian
muncullah Nyai Gadung Melati sebagai utusan resmi Ratu Laut Kidul
menemui keduanya.
Melalui utusannya itu, penguasa Laut Kidul dan yang berkuasa pula atas hutan nangka doyong
merelakan hutan di bawah kekuasaannya itu dijadikan daerah kadipaten
menggantikan Kadipaten Sumengkar. Namun, penguasa semua bangsa jin di
Laut Kidul itu mengingatkan agar dalam membabat hutan tidak berlaku
sembarangan dan kelak nama daerah yang baru itu hendaknya memakai nama
“Kidul”.
Sejak itulah hutan nangka doyong
yang telah menjadi daerah baru kemudian dinamakan Gunung Kidul oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono. Nama itu bertahan sampai sekarang. **
0 komentar:
Posting Komentar